DENPASAR, OborDewata.com – Rendahnya partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Bali 2024, disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya ketidak puasan Masyarakat terhadap pilihan kandidat, meningkatnya apatisme Politik kurangnya sosialisasi terhadap pasangan calon, serta faktor kebingungan masyarakat karena terdistorsi oleh informasi yang salah, diduga menjadi salah satu faktor tingginya angka golput.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Ngurah Rai Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., S.H., MAP., mengungkapkan, salah satu faktor utama yang sering menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih adalah ketidakpuasan terhadap pilihan kandidat yang tersedia. Jika masyarakat merasa tidak ada kandidat yang benar-benar mewakili aspirasi mereka atau jika calon yang ada dianggap kurang berkualitas, atau terlibat dalam berbagai kontroversi. Maka hal ini dapat menurunkan tingkat antusiasme pemilih untuk datang ke TPS.
Selain itu, penurunan partisipasi juga dapat disebabkan oleh meningkatnya apatisme politik di kalangan masyarakat. Dalam banyak kasus, ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan perasaan bahwa suara individu tidak akan mempengaruhi hasil akhir (voter cynicism) dapat membuat pemilih enggan untuk berpartisipasi. Hal ini bisa dipicu oleh pengalaman buruk pada pilkada sebelumnya atau ketidakpuasan terha kinerja pemerintahan yang ada.
“Jangan-Jangan para calon bukan kehendak Masyarakat, Sehingga masyarakat terkesan apatis. Inilah pentingnya calon-calon Pemimpin bagaimana mengajak seluruh komponen masyarakat supaya tidak apatis untuk ikut menentukan arah pembangunan lima tahun kedepan, ucap Gede wirata, Selasa (3/12/2024).
Faktor lainnya yaitu aksesibilitas ke tempat pemungutan suara (TPS) juga bisa menjadi faktor signifikan dalam rendahnya partisipasi, terutama di daerah-daerah yang lebih terpencil atau sulit dijangkau. Meskipun teknologi telah memperbaiki beberapa aspek logistik pemilu, masalah infrastruktur fisik seperti transportasi atau jarak jauh ke TPS tetap menjadi kendala bagi sebagian pemilih, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau wilayah dengan akses terbatas.
Tidak hanya itu, Gede Wirata mengatakan bahwa efektivitas kampanye pemilu juga memainkan peran besar dalam menarik pemilih. Jika informasi tentang pemilu tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat atau jika kampanye dianggap tidak menarik atau tidak relevan dengan kebutuhan warga, maka hal ini dapat menyebabkan menurunnya minat untuk berpartisipasi. Kurangnya sosialisasi atau pengaruh media sosial yang kuat dari calon atau partai politik dapat memperburuk kondisi ini.
Tambahnya Gede Wirata, fenomena golput atau golongan putih, di mana pemilih memilih untuk tidak memberikan suara karena merasa tidak ada pilihan yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, juga berkontribusi pada rendahnya partisipasi. Jika pilkada dianggap sebagai ajang bagi “politik uang” atau manipulasi, maka sebagian pemilih memilih untuk tidak terlibat sama sekali.
Penyebaran informasi yang tidak akurat atau bahkan berita palsu melalui media sosial dapat memengaruhi persepsi pemilih terhadap kandidat atau proses pilkada itu sendiri. “Jika masyarakat merasa bingung atau terdistorsi oleh informasi yang salah, mereka bisa merasa tidak yakin untuk memilih, yang akhirnya menurunkan tingkat partisipasi,” Tutup Gede Wirata. at/sathya