MANGUPURA, OborDewata.com – Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Badung yang mencapai hingga lebih dari 3.000 persen menuai tanda tanya besar. Mantan Wakil Bupati Badung, I Made Sudiana, SH., M.Si., yang juga dikenal sebagai pengusaha dan pernah duduk selama dua periode sebagai anggota DPRD Badung, angkat suara terkait kebijakan yang dinilai membebani masyarakat kecil ini.
Menurut Sudiana, pemerintah tidak bisa serta-merta menaikkan PBB P2 tanpa memikirkan asas keadilan. Ia menegaskan perlunya mekanisme subsidi bebas pajak, khususnya untuk lahan sawah yang masih berfungsi produktif dan hunian rakyat kecil dengan luas di bawah 5 are.
“Di Badung, kenaikan PBB P2 sampai 3 ribu persen lebih. Harusnya ada subsidi bebas pajak seperti lahan sawah termasuk lahan hunian di bawah 5 are. Sehingga kenaikan ini harus dikaji dengan bijak, meskipun pemerintah juga harus berpikir pendapatannya dari mana. Pemerintah harus proaktif,” tegasnya.
Sudiana mengingatkan, jika pemerintah hanya mengandalkan zonasi sebagai acuan NJOP, maka kebijakan ini akan timpang dan tidak mencerminkan fungsi nyata dari lahan. Tanah yang bersebelahan, kata dia, bisa memiliki nilai dan manfaat yang sangat berbeda.
“Kalau di Badung, pendapatan yang potensial adalah PHR (Pajak Hotel dan Restoran), yang pendapatannya bisa dilihat secara rasional dibandingkan dengan PBB P2. Harus dikaji, tanah-tanah itu dipakai apa? Kalau bicara bumi dan bangunan, secara riil berbeda-beda kalau dilihat sisi manfaatnya dan difungsikan untuk apa bangunan itu. Kan tidak mungkin sama kalau menetapkan NJOP,” paparnya.
Ia mencontohkan, lahan sawah yang berada tepat di sebelah vila tentu berbeda fungsi dan nilai ekonominya. Begitu pula bale banjar atau tempat ibadah tidak mungkin dipukul rata dengan hotel dan vila yang bersifat komersial.
“Bukan lebih banyak menerapkan zonasi, karena tanah tidak difungsikan sama. Misalnya di samping vila ada sawah, jelas beda penghasilan. Jadi tidak cocok pakai sistem zonasi, tapi berdasarkan fungsi bangunan. Misalnya bale banjar, tempat ibadah, tentu tidak sama fungsinya dengan bisnis hotel atau vila. Dari dulu saya usulkan seperti itu,” ujar Sudiana.
Sudiana menilai, jika lahan pertanian diberikan subsidi, itu langkah tepat agar masyarakat tetap bisa memanfaatkan sawahnya. Namun, jika pajaknya tetap tinggi, justru menimbulkan tekanan yang mendorong petani menjual lahannya. Hal ini, menurutnya, bertolak belakang dengan semangat keadilan.
“Kalau subsidi lahan pertanian memang bagus, agar bisa memanfaatkan sawahnya. Tapi kalau pajaknya tinggi, sama saja seperti menyusuh mereka menjual. Kalau bicara keadilan, tidak ada seharusnya membayar pajak sama. Apalagi kemampuan bayar tidak ada, masyarakat kan terpaksa membayar pajak. Ini menjadi ironi,” tegasnya lagi.
Tak hanya soal keadilan, Sudiana juga menyoroti potensi permainan birokrasi dalam penentuan NJOP jika sistem zonasi tetap dipertahankan. Ia menyebut, dalam praktiknya bisa terjadi perbedaan mencolok antara mereka yang harus membayar pajak tinggi dan yang justru lebih rendah, meskipun berada di wilayah yang sama.
“Jangan samakan tanah satu dengan yang lain meskipun berdampingan. Dalam hal ini, birokrasi yang tidak serius dipastikan ada permainan. Ada yang membayar pajak tinggi dan ada yang rendah, kalau NJOP hanya berdasarkan zonasi seperti ini,” pungkasnya.
Pernyataan Made Sudiana yang juga Pemangku Pura Dalem Desa Adat Canggu ini menegaskan bahwa persoalan PBB P2 di Badung tidak hanya soal angka, melainkan juga soal asas keadilan, fungsi tanah, serta potensi penyalahgunaan kewenangan birokrasi. ama/ksm/tra



