BALI, OborDewata.com – Selain hari suci Kuningan, ada beberapa hari penting dalam wuku Kuningan. Tertulis di dalam lontar Sundarigama, hari suci pada wuku Kuningan dimulai pada hari Minggu Wage Kuningan yang disebut Pamaridan Guru.
Umat Hindu meyakini, pada hari itu para dewa kembali ke surga dan meninggalkan anugerah kehidupan (amerta). Serta umur panjang kepada setiap makhluk, terutama kepada manusia oleh para dewa di dunia ini.
Oleh sebab itu, hari Pamaridan Guru juga disebut Ulihan atau pemulangan. Umat Hindu di Bali membuat sesajen berupa tipat kelanan, canang raka, wangi-wangian, patirta gocara (air suci). Sebagai ungkapan rasa bakti dan terimakasih, atas segala rahmat dan anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umat manusia dan isi alam semesta.
Selanjutnya, pada Senin Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung. Banyak orang percaya hari itu, merupakan hari yang cukup menyeramkan. Sehingga orang tua berpesan pada anaknya tidak main jauh, atau menaiki pohon.
Tatkala Pemacekan Agung, umat menyuguhkan sesajen berupa segehan agung di jalan masuk rumah. Dengan pula memotong ayam sumulung, atau ayam yang masih kecil. Maknanya adalah agar seluruh pasukan bhuta kala dari Sang Bhuta Galungan mundur dan kembali ke alamnya, yaitu bhutaloka.
Sehingga tidak menganggu keseimbangan dan keharmonisan alam semesta ini. Bhuta disomia dengan sesajen suci, agar energi positif kembali ke dunia ini. Perlu diketahui, bahwa Sang Bhuta Galungan adalah bagian dari Sang Hyang Kala Tiga yang turun ke bumi sebelum Galungan.
Sang Hyang Kala Tiga ini, adalah Bhuta Dungulan, Bhuta Amengkurat, dan Bhuta Galungan. Mereka bertujuan menggoda manusia, agar tidak dapat mencapai kemenangan Dharma. Untuk itulah umat Hindu di Bali mengenal yang namanya penampahan Galungan.
Tak hanya Galungan, pada saat Kuningan pun dikenal penampahan Kuningan. Yaitu pada Jumat Wage Kuningan. Pada hari itu, umat Hindu diharapkan dapat mengendalikan batin dan pikirannya. Agar tetap jernih dan suci.
Pada Sabtu Kliwon Kuningan, disebut Tumpek Kuningan atau hari raya Kuningan. Saat itu diperingati sebagai turunnya para dewa dan roh leluhur ke dunia untuk menyucikan diri. Sembari menikmati persembahan umat.
Pada hari suci Kuningan, umat Hindu akan membuat persembahan dan sesajen kepada para roh leluhur dan para dewa. Berupa nasi sulanggi, tebog, raka-raka, pasucian, canang wangi-wangian, segehan agung. Serta membuat gegantungan, tamiang, caniga, yang dipasang di tepi atap bangunan.
Ada pula sesajen untuk manusia, terdiri dari sasayut, prayascita luwih, penek kuning, daging itik putih, panyeneng, tatebus dan lain sebagainya. Hal itu bermakna untuk mengheningkan batin dan pikiran, agar tetap jernih dan suci.
Dalam lontar Sundarigama, koleksi Geria Gede Banjarangkan Klungkung, disebutkan pula bahwa saat Kuningan agar umat Hindu merenung, mengetahui, memahami hakekat diri sendiri. Guna dapat menempatkan diri, serta berperan baik dan benar dalam hidup di dunia ini.
Ada pula yang unik saat Kuningan, yakni etikanya banten harus selesai dipersembahkan sebelum siang hari. Sebab dalam lontar Sundarigama, disebutkan bahwa saat hari suci Kuningan para dewa dan roh leluhur turun ke dunia pada pagi hari. Untuk memberikan anugerah keselamatan dan kesejahteraan kepada umat.
Kemudian roh leluhur dan pada dewa kembali ke surga sebelum tengah hari. Sebab diyakini, apabila umat Hindu melakukan perayaan pada siang atau bahkan sore hari, maka tidak ada para dewa dan para roh leluhur di dunia lagi karena telah kembali ke sorga. Dengan demikian perayaan siang atau sore hari dianggap sia-sia. sha/dx