OborDewata.com – Dalam lontar Sundarigama, disebutkan bahwa sebelum hari suci Galungan. Maka akan ada godaan dari Sang Hyang Kala Tiga yang turun ke dunia.
Sang Hyang Kala Tiga ini, adalah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan, dan Sang Bhuta Amengkurat.
Ancaman Sang Hyang Kala Tiga ini pun, harus diperhatikan oleh umat Hindu. Hari raya Galungan, adalah hari yang sangat disucikan dan dikeramatkan sekali, khususnya oleh umat Hindu.
Karena hari Galungan, adalah momentum untuk merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma.
Yang artinya bahwa umat harus bisa terlebih dulu menundukkan sifat-sifat angkara murka, loba, tamak, iri hati, dendam, nafsu duniawi yang berlebihan, dan hal-hal lainnya yang bersifat negatif.
Apabila hal ini bisa ditundukkan, barulah seseorang bisa mengklaim kemenangan Dharma. Namun sebaliknya apabila belum bisa mengatasi hal tersebut, maka kemenangan Dharma terhadap Adharma hanyalah baru angan-angan.
Karena sesungguhnya peperangan ini, adalah peperangan yang ada dalam diri sendiri. Karena musuh sesungguhnya tidaklah jauh, tetapi ada di dalam diri kita sendiri.
Hal ini sesuai dengan isi kekawin yang menyatakan musuh-musuh itu tidak jauh, karena sesungguhnya ada pada diri sendiri.
Oleh karena itu, untuk bisa mengatakan Galungan adalah kemenangan Dharma melawan Adharma, maka seseorang sangat harus bisa memerangi sifat-sifat negatif dalam dirinya terlebih dahulu. Sehingga untuk menyongsong Galungan, dirinya telah dalam keadaan bebas dari hal-hal negatif.
Munculnya hal-hal negatif, akan diperparah lagi dengan turunnya Sang Hyang Bhuta atau Sang Hyang Kala Tiga Galungan.
Karena Sang Hyang Bhuta Tiga Galungan ini, akan menggoda keteguhan iman manusia di saat-saat akan merayakan hari raya suci Galungan.
Dalam lontar Sri Jaya Kesunu, disebutkan bahwa Sang Hyang Kala Tiga Galungan akan turun pada Redite Paing Wuku Dungulan.
Sang Hyang Kala Tiga Galungan ini, terdiri dari tiga sosok niskala. Sang Bhuta Galungan konon turun saat Redite Paing Dungulan.
Kemudian, Sang Bhuta Dungulan yang turun saat Soma Pon Dungulan. Dan ketiga, Sang Bhuta Amengkurat yang turun saat Anggara Wage Dungulan.
Ketiga-tiganya ini yang selalu menggoda kehidupan iman manusia, yang sedang menyiapkan diri untuk merayakan hari suci Galungan.
Saat turunnya Sang Bhuta Galungan pada Redite Paing Dungulan, maka umat Hindu harus siap-siap menjaga diri, terutama menjaga supaya hal-hal negatif dalam diri seperti marah, dengki, iri, sombong, arogan dan lain sebagainya bisa dikendalikan.
Umat harus bisa meredam dan mengurung gejolak-gejolak negatif, dalam diri sehingga tidak muncul.
Maka Redite Paing Dungulan disebut jari panyekeban, atau ‘Anyekung Jnana Sudha Nirmala’ yang artinya mengendalikan diri untuk bisa mencapai kesucian.
Hari panyekeban ini diimplementasikan dengan nyekeb pisang untuk persiapan Galungan. Maka dengan adanya simbol ini, sehingga umat harus selalu mawas diri akan adanya musuh dalam diri sendiri, seperti marah, dengki, iri dan sifat negatif lainnya.
Dalam pesan-pesan para tetua dahulu, pantang kalau kita di rumah tangga bertengkar atau melakukan hal-hal yang negatif saat Redite Dungulan hingga Umanis Galungan, sebab orang tersebut bisa dimasuki oleh roh Sang Bhuta Tiga Galungan.
Sehingga percaya atau tidak enam bulan yang akan datang, saat menjelang Galungan lagi keluarga yang bertengkar atau berbuat negatif itu akan terulang lagi pertengkarannya.
Hal ini bisa dihilangkan, apabila dapat menyadari dan memotivasi serta dapat mengendalikan diri.
Oleh karena itu hati-hatilah saat Sang Tiga Bhuta Galungan sudah turun, karena saat itu mereka akan selalu menggoda kehidupan manusia, sehingga bisa menggagalkan menikmati hari suci Galungan.
Sedangkan saat penampahan Galungan atau Anggara Wage wuku Dungulan, Sang Bhuta Amengkurat yang turun, maka umat Hindu Nusantara akan melakukan kegiatan panyembelihan atau penampahan.
Yang memiliki filosofi untuk membunuh segala sifat hewan, atau hal-hal yang yang bersifat negatif di dalam diri.
Hari Selasa Wage Dungulan disebut hari penampahan Galungan. Hari Penampahan Galungan ini, kata ida, ditandai dengan pemotongan hewan.
Sedangkan umat Hindu diharapkan, pagi tersebut menghaturkan daging jejeron di natar merajan, natar rumah dan di lebuh, agar sang Bhuta Tiga Galungan dalam hal ini Sang Bhuta Amangkurat tidak menggoda dan kembali ke alamnya.
Sedangkan saat itu, atau saat penampahan Galungan dilakukan odalan pada palinggih penunggu karang, berupa haturan nasi roongan (nasi penek besar) sebanyak 4 buah ditambah dengan ulam karangan. Palinggih penunggu karang adalah palinggih untuk Sang Kala Maya (setingkat picasa).
Sehingga haturan tersebut ditujukan, untuk sang picasa yang bernama Sang Kala Maya. Tujuannya agar Sang Bhuta Kala tidak menggoda kehidupan manusia.
Sedangkan pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, ini puncak dari rahinan jagat dan yang sangat disucikan yang disebut hari raya Galungan.
Apabila umat bisa melewati godaan dan gangguan musuh, dalam diri berupa kemarahan, kedengkian, kekecewaan kedurhakaan, keserakahan, keegoan serta hal-hal yang bersifat negatif lainnya.
Maka barulah bisa mengatakan sudah menang, atau Dharma menang melawan Adharma. Namun sebaliknya, ketika belum bisa mengalahkan hal-hal yang negatif dalam diri maka tentu saja belum berada pada kemenangan.
Bahkan masih dalam kondisi kekalahan. Oleh sebab itu kita sebagai umat Hindu yang memegang teguh tradisi leluhur yang sangat adiluhung, dituntut harus selalu mawas diri, dapat selalu instrospeksi agar sifat-sifat negatif (Adharma) dalam diri, betul-betul sirna dan segala godaan dari Sang Hyang Kala Tiga Galungan tidak lagi mempan menyusupi diri.
Sehingga hari Raya Galungan betul-betul menjadi hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Untuk itu kepada umat sedharma diimbau agar berhati-hati, di saat Sang Hyang Kala Tiga Galungan turun, karena ketiga bhuta tersebut berusaha selalu menjebol dan mengganggu iman manusia, sehingga gagal mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan. sha/ay/dx