DENPASAR, OborDewata.com – Wacana pembangunan Bandara Buleleng yang terus bergulir kini menuai kritik tajam dari berbagai komponen masyarakat Bali. Salah satunya Made Sudiana yang menilai bahwa proyek besar ini belum tepat dilakukan dan Prematur, karena belum ada kajian yang mendalam mengenai kebutuhan dan potensi yang ada, khususnya terkait dengan infrastruktur pendukung serta keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Menurut Sudiana, sebelum membangun bandara baru di Singaraja, Bali Utara, lebih baik memperbaiki infrastruktur darat yang ada dan memprioritaskan pengembangan destinasi wisata yang lebih terarah dan menarik wisatawan.
“Siapa yang akan ke Singaraja? Kalau tidak ada destinasi yang jelas, siapa yang mau turun pesawat di sana? Jangan sampai nantinya kita punya bandara, tapi tidak ada yang turun. Ini justru bisa jadi mubazir dan hanya menjadi beban anggaran negara,” senti Pemangku Pura Dalem ini dengan tegas saat diwawancarai di Denpasar, Kamis (16/11/2024). Menurutnya, pengembangan sektor pariwisata Bali Utara sangat penting untuk dilakukan terlebih dahulu, sebelum fokus pada pembangunan bandara. Ia menjelaskan bahwa kawasan Singaraja dan sekitarnya memiliki potensi besar, namun belum cukup dikenal luas oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
Oleh karena itu, branding dan pemasaran destinasi harus dikerjakan dengan serius agar orang tertarik untuk mengunjungi kawasan tersebut. “Yang paling penting sekarang adalah memasarkan dan membangun destinasi wisata di Singaraja dengan konsep yang jelas. Harus ada daya tarik yang membuat orang tertarik untuk datang ke sana. Setelah itu, baru kita pikirkan masalah transportasi udara. Kalau tidak ada destinasi yang menarik, orang juga tidak akan ada yang mau datang, meski ada bandara sekalipun,” tambah Sudiana.
Selain itu, Sudiana menilai bahwa permasalahan utama yang harus dibenahi di Bali bukan hanya soal ketersediaan bandara, tetapi juga sistem transportasi darat yang masih banyak kekurangan. Akses antar kabupaten dan kota di Bali, khususnya Bali Utara, perlu mendapat perhatian lebih, agar mobilitas orang dan barang dapat berjalan lebih lancar. “Transportasi darat di Bali, terutama untuk menuju kawasan-kawasan wisata yang lebih jauh seperti Singaraja, masih sangat terbatas. Infrastruktur jalan dan transportasi publik yang lebih efisien harus menjadi prioritas, bukan malah terburu-buru membangun bandara baru,” tegas Sudiana.
Bagi Sudiana, Bali tidak membutuhkan banyak bandara. Ia mengusulkan agar Bandara Ngurah Rai yang ada saat ini lebih dioptimalkan dengan peningkatan kapasitas penerbangan dan penambahan runway, daripada harus membangun bandara baru yang memakan biaya besar. “Bali hanya perlu satu bandara internasional yang memiliki kapasitas memadai. Bandara Ngurah Rai sudah cukup, tinggal ditambah runway untuk menambah kapasitas penerbangan. Dengan demikian, kita tidak perlu membangun bandara baru yang akan membebani anggaran,” ujarnya.
Sudiana juga menyarankan untuk memikirkan solusi transportasi massal seperti kereta cepat atau Light Rail Transit (LRT) untuk menghubungkan berbagai wilayah di Bali dengan cepat dan efisien. “Mengapa tidak membangun kereta cepat atau LRT untuk menghubungkan Bali Selatan dengan Bali Utara? Dengan transportasi yang cepat, orang bisa mengunjungi Singaraja dalam waktu singkat tanpa perlu banyak biaya. Kalau jalan darat sudah baik dan akses transportasi antar kabupaten lancar, maka kebutuhan akan bandara baru menjadi kurang relevan,” jelasnya.
Kritikan Sudiana terhadap pembangunan Bandara Buleleng ini juga berfokus pada aspek ekonominya. Ia menyebutkan bahwa dari sisi perhitungan ekonomi, proyek ini sangat meragukan dan terkesan sebagai “jualan politik” yang lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu daripada masyarakat Bali secara keseluruhan. “Proyek ini lebih dilihat sebagai cara untuk meraih keuntungan politik dan proyek yang menguntungkan segelintir golongan tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Dari sisi hitungan ekonomi, sangat sulit untuk membenarkan pembangunan bandara baru, apalagi di daerah yang masih kurang berkembang,” katanya.
Meskipun begitu, Sudiana mengakui bahwa Bali tetap membutuhkan peningkatan kapasitas infrastruktur secara menyeluruh, tetapi itu harus dilakukan secara bertahap dan berbasis pada kebutuhan riil masyarakat dan sektor pariwisata. “Kami ingin Bali berkembang, tetapi tidak dengan cara yang terburu-buru atau asal ada proyek. Infrastruktur dan destinasi wisata harus dibangun secara berkelanjutan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Bali secara keseluruhan,” tutup Sudiana.
Dengan pandangan kritis dan solutif ini, Sudiana berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam merencanakan pembangunan infrastruktur di Bali, dan memastikan bahwa setiap proyek yang dijalankan benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan politik semata. tra/ama/ksm/kel