BALI, OborDewata.com – Setelah perayaan Galungan dan Kuningan, dalam Hindu di Bali mengenal adanya hari Pegatwakan.
Hari ini jatuh pada Rabu Kliwon Wuku Pahang. Karena merupakan hari suci, umat Hindu pun melakukan persembahyangan.
Melaksanakan yoga semadi, dan membuat sesajen berupa canang wangi-wangi. Yang tertuju kepada para dewa.
Juga membuat sasayut dirgayusa, panyeneng, dan tatebus untuk persembahan kepada Sang Hyang Tunggal.
Dalam lontar Sundarigama, Pegatwakan berarti putusnya perkataan. Atau batas akhir masa melakukan dhyana semadi dalam rangka perayaan hari suci pada Wuku Dungulan. Atau akhir (puncak peleburan).
Di dalam lontar Sundarigama, koleksi Geria Gede Banjarangkan, Klungkung. Bahwa ungkapan Pegatwakan memiliki makna tersendiri.
‘Pegat ing tirisan’ atau ‘pegat ing warah’. Kata tirisan artinya pohon kelapa. Sehingga ada kemungkinan, kata tirisan ini analoginya dengan twak (tuak).
Yang berarti nira atau kulit. Lalu asosiasinya dengan arti kata wak yang berarti bicara, suara, bahasa, bunyi, kata, dan kalimat.
Sementara itu, ‘wkas ing pralina’ atau puncak peleburan adalah pralina balung dungulan. Ada kemungkinan ungkapan pralina balung dungulan ini, maksudnya adalah peleburan kekuatan-kekuatan negatif yang muncul akibat pengaruh kekuatan Sang Hyang Kala Tiga pada Wuku Dungulan.
Sebab memang benar, ketika Wuku Dungulan, terutama pada hari Penampahan Galungan. Umat Hindu di Bali memotong hewan korban untuk persembahan. Akan tetapi, bukanlah tulang belulang dari hewan korban tersebut maknanya. Hal itu merupakan aktivitas budaya yang tiada lain, merupakan sebuah simbol.
Dalam Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, pengaruh kekuatan negatif itu bisa saja muncul melalui perkataan atau wak. Di samping melalui perbuatan (kaya), dan pikiran (manah). Sebagaimana dalam Kakawin Nitisastra, bahwa perkataan itu dapat menimbulkan kebahagiaan dan mendatangkan teman.
Tetapi juga dapat membawa penderitaan bahkan kematian. Kekuatan-kekuatan negatif yang ada pada perkataan, itulah yang putus, hilang, tiada, terbunuh sampai sama sekali hilang atau putus.
Pada waktu perayaan hari suci Pegatwakan ini. Sehingga umat Hindu semakin menjadi putus, dalam artian mencapai kesempurnaan.
Meraih derajat kehidupan yang lebih sempurna. Kata ‘putus’ ini memiliki banyak arti. Di antaranya, berarti akhir, ujung, bagian terakhir, yang tertinggi, puncak, terselesaikan, terkuasai seluruhnya.
Akhirnya menjadi, sama sekali hilang, telah lengkap, sempurna, utuh, dan telah mencapai derajat yang tinggi.
Sehingga Pegatwakan ini berarti terputusnya sabda, atau batas waktu berakhirnya pelaksanaan dyana semadi yang berkaitan dengan Wuku Dungulan (Galungan). Atau dikenal dengan puncak segala peniadaan. sha/dx