BALI, OborDewata.com – Menikah adalah salah satu kewajiban bagi umat Hindu, sesuai ajaran Catur Asrama yaitu Grhasta. Bukan tanpa maksud, ada makna baik yang terkandung di dalamnya. Sebab dengan menikah dan meneruskan keturunan, apalagi sampai memiliki anak yang suputra adalah salah satu tujuan umat Hindu. Demi meneruskan garis keturunan agar tidak punah. Sejak lama, beredar kisah di masyarakat bahwa seseorang yang tidak memiliki keturunan. Maka roh leluhurnya akan digantung di tiing (bambu) petung. Kisah ini masuk ke dalam mitos kisah Sang Jaratkaru di dalam Adi Parwa.
Dewa Windhu Sancaya, Dosen Kajian Prosa dan Drama, Fakultas Ilmu Budaya Unud, mengisahkan bahwa Sang Jaratkaru dikenal sebagai orang yang sangat sakti. Hingga bisa berjalan-jalan ke surga dan neraka. “Ketika tiba di neraka, ia (Jaratkaru) melihat banyak roh yang disiksa. Salah satunya roh ayahnya yang telah meninggal dunia,” ujarnya.
Sang Jaratkaru heran, mengapa ayahnya bisa disiksa di neraka. Bahkan dengan cara digantung di tiing (bambu) petung. Ia pun bertanya alasannya, dan dijawab bahwa penyiksaan itu disebabkan oleh Jaratkaru sendiri.Sang Jaratkaru kian bingung, dan kembali bertanya lebih jelas. Ternyata maksudnya adalah, penyiksaan sang ayah di neraka karena Sang Jaratkaru tidak menikah dan belum memiliki keturunan.
Setelah itu, Sang Jaratkaru diminta kembali ke dunia dan menikah dengan seorang wanita yang juga bernama Jaratkaru. Tentu saja ia segera mencarinya ke seluruh antero dunia, agar ayahnya terlepas dari siksaan.Akhirnya Sang Jaratkaru berhasil menemukan sang wanita. Ia menikah dan akhirnya memiliki anak dari wanita yang juga bernama Jaratkaru itu. Benar saja, setelah menikah dan memiliki anak, maka roh ayahnya dibebaskan dari penyiksaan di neraka.
“Kisah dari mitos ini lah yang kemudian membuat umat Hindu di Bali meyakini, bahwa seorang cucu dapat membebaskan roh leluhurnya dari penyiksaan di neraka,” jelas dosen Unud ini. Kisah ini tertera dalam kitab Adiparwa Bab V.
Perlu diketahui, bahwa Adiparwa adalah bagian dari epos Mahabharata. Dan epos ini adalah bagian dari Itihasa, yang merupakan bagian dari Upaweda. Kitab Upaweda merupakan kitab kelompok kedua dari Veda Smrti, setelah kitab-kitab Vedangga.
Kata Upaweda berasal dari Bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua kata yaitu Upa dan Veda. Upa artinya dekat dan Veda adalah pengetahuan suci. Jadi Upaweda adalah dekat dengan Weda atau pengetahuan suci. Namun walau demikian, tentunya jodoh, kelahiran dan kematian adalah rahasia ilahi. sha/dx