Daerah

Ancaman Krisis Air Tanah di Bali Kian Nyata, Nyoman Parta Dorong Gerakan Konservasi Air

894 Views

GIANYAR, OborDewata.com — Persoalan lingkungan di Bali tidak lagi semata berkutat pada sampah dan kemacetan. Anggota DPR RI I Nyoman Parta menegaskan bahwa ancaman krisis air bawah tanah kini menjadi tantangan serius yang memerlukan perhatian dan tindakan bersama seluruh elemen masyarakat.

Menurut Parta, Bali saat ini menghadapi tekanan besar terhadap sumber daya air, khususnya air tanah, akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat, sektor industri, serta pertanian tradisional seperti subak. Kondisi tersebut berpotensi memicu konflik pemanfaatan air dan mengancam keberlanjutan ekosistem Pulau Dewata apabila tidak dikelola secara bijak.

“Masalah air tanah di Bali sudah sangat mendesak. Kita harus mulai menabung air dengan cara mengembalikan air hujan sebanyak mungkin ke dalam tanah,” ujar Parta saat memberikan pemaparan dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar di Rumah Aspirasi Nyoman Parta, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Kamis (25/12/2025).

Ia mengajak masyarakat Bali untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi air melalui langkah-langkah sederhana namun berdampak, seperti pembuatan biopori dan sumur resapan, penghematan penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari, serta penanaman pohon. Selain itu, Parta menekankan pentingnya pengendalian alih fungsi lahan yang tidak terkendali karena berpengaruh langsung terhadap daya serap tanah.

Sementara itu, ahli geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Ida Bagus Oka Agastya, menyampaikan bahwa isu air tanah merupakan persoalan geologi yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat Bali saat ini. Oleh sebab itu, ia menilai edukasi publik mengenai konservasi air perlu terus diperkuat.

“Air tanah sangat bergantung pada bagaimana kita mengelolanya. Biopori dan sumur resapan adalah salah satu intervensi yang paling memungkinkan dilakukan masyarakat,” katanya.

Oka Agastya menambahkan, inovasi seperti teba modern dapat menjadi alternatif sumur resapan yang efektif untuk membantu mengalirkan air hujan kembali ke dalam tanah. Upaya tersebut dinilai penting mengingat saat ini terjadi kompetisi pemanfaatan air tanah di Bali.

Ia mengingatkan, kesadaran terhadap krisis air sering kali baru muncul ketika pasokan air mulai terganggu. Padahal, kondisi tersebut merupakan tanda bahwa krisis air tanah sebenarnya telah berlangsung cukup lama.

“Sering kali kita baru sadar saat air tidak lagi mengalir dari keran. Itu menandakan cadangan air tanah sudah menipis,” ujarnya.

Berdasarkan data pemanfaatan air, Oka Agastya menjelaskan bahwa penggunaan air tanah terbesar masih berasal dari sektor domestik atau rumah tangga, disusul sektor industri yang mencakup pariwisata serta air minum dalam kemasan (AMDK). Oleh karena itu, perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan air secara bijak menjadi kunci utama menjaga keberlanjutan sumber daya air Bali.

Terkait kekhawatiran penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah, ia menjelaskan bahwa karakteristik geologi Bali relatif lebih stabil karena didominasi material vulkanik seperti batu padas. Meski demikian, penurunan cadangan air tanah tetap menjadi persoalan serius meskipun tidak selalu disertai penurunan tanah.

“Struktur tanah Bali cenderung stabil, namun jika airnya terus berkurang, dampaknya tetap besar bagi kehidupan,” pungkasnya. tim/dx